Yolinda Caya Kamula
Mahasiswa Prodi Sosiologi, Universitas Muhammadiyah Malang.
Baca juga:
Sosok Helmi Dimata Awak Media Hukrim NTB
|
Pendidikan merupakan bekal yang paling utama dalam sebuah kehidupan setiap orang. Yang mana dengan adanya pendidikan seseorang mampu membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Akan tetapi saat ini kondisi pendidikan sangat memprihatinkan, pendidikan hanya menghasilkan orang pintar bukan orang yang terdidik. Munculnya berbagai masalah dalam masyarakat seperti berbagai tindakan kriminal dan memalukan merupakan akibat dari perilaku orang-orang yang tidak berpendidikan.
Masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme masih saja terjadi di tengah semakin berkembangnya pendidikan warga negara Indonesia, karena memang demikian? Orang pintar belum tentu berpendidikan SMA dengan gelar doktor atau bahkan guru belum tentu mampu mengubah perilaku seseorang Mungkin SMA di Indonesia telah berhasil mencetak orang pintar tapi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Model pendidikan formal di Indonesia hanya mengajarkan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat masyarakat menjadi lebih pintar. Sayangnya, tidak diajarkan dari segi karakter yang membuat orang terpelajar. Itulah sebabnya masih banyak orang pintar yang melakukan tindakan memalukan seperti suap
Baca juga:
Ernest, Apa itu Dunguh?
|
Mungkin hanya di Indonesia mantan pelaku korupsi masih bisa menjadi pimpinan sebuah lembaga. Seharusnya tidak membuat malu semua pihak, meski masih banyak orang terpelajar yang tidak terpilih. Revisi sistem pendidikan formal bisa jadi solusi jika sistem pendidikan formal di Indonesia segera dirombak dengan fokus pada proses, maka tidak hanya akan menghasilkan orang-orang terpelajar, tetapi orang-orang yang terbiasa menerima pendidikan hanya dengan melihat hasilnya.
Dengan pendidikan karakter dapat mengajarkan kepada manusia agar taat kepada norma agama maupun sosial, dan menjadi manusia berbudi pekerti luhur serta memiliki sikap yang bertanggung jawab. Saatnya pemerintah dan perguruan tinggi membenahi pola pendidikan formal di Indonesia agar lebih maju dan berkualitas. Karakter seseorang itu tidak bisa diwariskan, tetapi harus dibangun dan dikembangkan secara sadar hari demi hari dengan melalui suatu proses yang tidak instan. Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari.
Kita memiliki kontrol penuh atas karakter kita, yang artinya kita tidak dapat menyalahkan orang lain karena kita yang bertanggung jawab penuh atas diri kita sendiri. Kenapa semua itu bisa terjadi? karena karakter seseorang tidak bisa diukur dan dinilai oleh satu pihak. Salah satu faktor yang menyebabkan suatu karakter seseorang seperti itu mungkin karena latar belakangnya ataupun ada berbagai masalah yang sedang dihadapi entah itu didalam keluarga, lingkungan sekitar ataupun dengan teman-temannya. Dan disisi lain yang menjadi hal penting dalam menuntut ilmu yaitu pendidikan budi pekerti yang tidak diajarkan. Sehingga seseorang yang bergelar doctor atau bahkan professor sekalipun, nyatanya belum tentu mampu mengubah kelakuan mereka sesuai dengan tujuan dari berpendidikan itu sendiri.
Fenomena seperti ini jika dianalisis ataupun dikaitkan dengan perspektif sosiologi, yang dimana tindak perilaku ataupun pendidikan seseorang itu sangatlah minim, sehingga banyak pemimpin dan pejabat diluar sana terlihat taat beragama dan berpendidikan justru mereka yang terkadang melakukan kejahatan seperti korupsi.
Hal ini dapat dikaitkan dengan Teori Interaksionalisme Simbolik, Max Weber, yang menjelaskan bahwa individu bertindak sesuai dengan interpetasi mereka terhadap makna yang ada pada dunia. Teori ini memberikan perspektif pada sosiolog untuk mempertimbangkan keberadaan simbol pada kehidupan seharihari. Dan selain itu juga hal tersebut dapat membantu orang untuk berintraksi satu sama lain.
Kita dapat mengambil contoh dari cerita tentang “ Laskar Pelangi ” karya Andrea Hirata. Yang menceritakan tantang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang bersekolah di Belitung yang penuh dengan keterbatasan.. Tetapi kita harus bisa memahami dan mengetahui bahwa potensi seseorang itu berbeda-beda, seperti Ikal yang tertarik di bidang sastra, Lintang si anak jenius yang tertarik dengan matematika, Mahar si penyanyi yang menyukai di bidang seni, Kucai yang tertarik sebagai seorang pemimpin dan Harun anak yang memiliki keterbelakangan mental namun ada banyak potensi yang ada di dalam dirinya.
Dari cerita itu saya termotivasi dan terinspirasi bahwa setiap orang memiliki sebuah potensi yang berbeda-beda, kemampuan yang dimiliki janganlah hanya menilai dari kepintaran seseorang hanya karna mendapatkan nilai yang bagus, dan pendidikan yang tinggi tetapi bagaimana cara orang tua mendidik, memberi bimbingan dan mengajarkan bagaimana berperilaku yang baik agar dapat menjadi orang yang sukses.
Di sinilah saya rasa letak kesalahannya pada sistem di negeri ini, yang membolehkan siswa menggunakan segala cara untuk mencapai hasil yang telah ditentukan, bahkan metode yang dianut juga harus dimasukkan dalam penilaian apakah metode itu baik atau buruk.
Maka dari itu dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang bergelar tinggi sekalipun itu tidak menjamin memiliki perilaku yang terdidik. Untuk itu pola pendidikan formal harus diimbangi dengan pendidikan karakter dan berbagai potensi untuk menghasilkan orang pintar yang terdidik. Harapan saya untuk kedepannya, semoga indonesia mampu menghasilkan orang-orang yang Cerdas, pintar, dan terdidik.(red)